Saturday, October 30, 2010

BUKU PINTAR PERNAFASAN


CHAPTER 1 PNEUMONIA (Watch the video through video bar link)


PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pneumonia merupakan penyakit akut dimana ruang udara alveolar pada paru-paru mengalami peradangan dan menjadi terisi dengan cairan dan sel-sel darah putih,12 serta menimbulkan penampakan infiltrat putih pada foto polos dada.3 Hal ini dapat diakibatkan oleh bakteri, virus atau infeksi parasit juga dapat disebabkan oleh agen-agen noninfeksi seperti bahan kimia atau benda asing yang teraspirasi. Kasus pneumonia terparah disebabkan oleh bakteri terutama Streptococcus pneumoniae (pneumococcus) dan Haemophilus influenzae.
Pada negara-negara berkembang dimana penderita seringkali ditangani tanpa bantuan dokter, WHO mendefinisikan secara sederhana pneumonia berdasarkan tanda-tanda klinis seperti episode batuk akut atau kesulitan pernafasan yang berasosiasi dengan peningkatan laju pernafasan.22 Selain itu meskipun Pneumonia dikenal sebagai penyakit yang dapat terjadi pada semua golongan umur, pneumonia merupakan penyebab utama kematian pada 1.9 juta anak dibawah usia 5 tahun di dunia,26 sehingga pada makalah ini pembahasan akan dibatasi pada pneumonia anak.
Sejarah memperlihatkan pneumonia sebagai penyebab utama kematian pada anak di negara-negara maju seperti Amerika Serikat pada era 1900, yang diperkirakan telah membunuh 47 dari 1000 anak dibawah usia 5 tahun pada masa itu.15 Perbaikan gizi dan standar hidup di negara-negara maju pada 40 tahun awal di abad 20 menghasilkan pengurangan yang substansial pada tingkat mortalitas akibat pneumonia sebelum antibiotik sebagai penanganan yang efektif tersedia. Akan tetapi di negara-negara berpendapatan rendah di Asia dan Afrika, pneumonia tetap menjadi penyebab utama kematian anak. Pada negara-negara berkembang, lebih dari seperempat anak memiliki episode klinis pneumonia setiap tahunnya selama 5 tahun pertama kehidupan mereka.16 Angka rata-rata menunjukan 2%–3% anak yang menderita pneumonia setiap tahunnya memiliki tanda-tanda klinis pneumonia yang parah dan memerlukan penanganan di rumah sakit dengan sebagian besar diantaranya dapat berakibat sangat fatal hingga menyebabkan kematian.16 Hal ini juga didukung dengan data yang menunjukan untuk 1000 anak yang dilahirkan, sekitar 100-150 eposide-episode pneumonia yang parah meningkat pada usia dibawah 5 tahun pertama, terutama dalam 2 tahun pertama kehidupan. Kurang lebih 21% dari kemaian pada anak disebabkan oleh pneumonia,26 dengan sebagian besar terjadi di negara-negara berkembang dengan tingkat mortalitas 60–100 per 1,000 anak dibawah usia 5 tahun;21 yang menunjukkan bahwa untuk 1000 anak yang lahir hidup 12–20 diantaranya mati karena pneumonia sebelum ulang tahun mereka yang kelima.

Tujuan dan Kegunaan
Sebagian besar pihak telah mengetahui mengenai tingginya jumlah kematian anak akibat pneumonia di negara-negara berkembang. Akan tetapi hanya sebagian kecil yang memberikan penjelasan mengenai pneumonia pada anak dan faktror-faktor yang mengarah pada kematian. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa tingkat mortalitas pada penderita pneumonia berasosiasi dengan malnutrisi, sanitasi, higienitas, atau secara garis besar dengan kemiskinan serta kurangnya akses pada fasilitas kesehatan. Akan tetapi pembahasan terlalu jauh mengenai masalah akan meningkatkan kompleksitas masalah dan menyebabkan kengganan masyarakat untuk memahami masalah pneumonia ini.
Peningkatan pemahaman masyarakat mengenai masalah pneumonia ini, bersamaan dengan tersedianya informasi yang lebih terperinci mengenai etiologi dan patofisiologi penyakit, diharapkan akan dapat menghasilkan pendekatan-pendekatan baru untuk mengatasi tingginya masalah global kematian anak akibat pneumonia.


HASIL DAN PEMBAHASAN

Kejadian Pneumonia Pada Anak (Epidemiologi)
Rudan et al.17 telah menghitung dan mempublikasikan perkiraan global pertama kejadian pneumonia klinis pada anak berusia kurang dari 5 tahun pada tahun 2000. Perkiraan ini didasarkan analisis dari data 28 studi longitudinal komunitas terpilih di negara-negara berkembang diantara tahun 1969 dan 1999. Analisis memperlihatkan bahwa kejadian dari pneumonia klinis pada anak dibawa usia 5 tahun di negara-negara berkembang di seluruh dunia mendekati 0.29 juta episode per tahun-anak. Jumlah ini sama dengan 151.8 juta kasus baru setiap tahun, 13.1 juta atau 8.7% (7–13%) diantaranya cukup parah dan membutuhkan perawatan rumah sakit. 8 Lebih jauh lagi di dalam World Health Report 2000, WHO memperkirakan 4 juta kasus juga akan terjadi di negara-negara maju di seluruh dunia. (Tabel 1).11

Hal ini menarik perhatian sebagian besar para praktisi kesehatan masyarakat untuk menghitung penyebaran 156 juta episode yang telah diperkirakan berdasarkan wilayah dan negara untuk membantu perencanaan intervensi pencegahan dan manajemen kasus pada tingkat masyarakat dan fasilitas, termasuk vaksin dan antibiotic yang diperlukan dan penyalurannya. Hasil dari perkiraan ini ditampilkan pada tabel 211.

Tabel 2 memperlihatkan 15 negara dengan jumlah perkiraan tertinggi munculnya episode-episode pneumonia baru dan kejadian-kejadian lanjutannya. Negara-negara ini terhitung memiliki 74% (115.3 juta episode) dari 156 juta episode global. Lebih dari separuh kasus pneumonia tahunan baru terpusat pada hanya 5 negara dimana 44% dari anak-anak di dunia hidup: India (43 juta), China (21 juta), Pakistan (10 juta) dan di Banglades, Indonesia serta Nigeria (6 juta tiap-tiapnya). Perbedaan kejadian pneumonia klinis pada masa anak-anak di dunia pada tingkat negara ditunjukkan oleh gambar 111.


Penyebab Pneumonia Pada Anak (Etiologi)
Pneumonia klinis pada masa anak-anak disebabkan oleh kombinasi dari paparan terhadap faktor resiko terkait penjamu, lingkungan dan infeksi. Faktor-faktor resiko berkembangnya pneumonia terkait penjamu atau lingkungan terdapat pada Box 1.11

Studi-studi terdahulu dimana vaksin belum tersedia telah mengidentifikasi Streptococcus pneumoniae (pneumococcus) dan Haemophilus influenzae sebagai bakteri utama penyebab pneumonia, dengan beberapa kasus terparah disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan Klebsiella pneumoniae19. Pada era modern, pemahaman mengenai penyebab pneumonia di negara-negara berkembang didasarkan 2 jenis studi. Jenis pertama terdiri dari studi prospektif berdasarkan rumah sakit yang bergantung pada kultur darah dan pada beberapa studi dari aspirasi paru percutaneous1. Beberapa studi lainnya juga menguji spesimen nasopharyngeal untuk mengidentifikasi virus. Pendekatan ini kurang sensitif untuk mengidentifikasi peyebab bacterial. Dengan mencoba untuk menambah metode kultur dasar dengan berbagai penanda penyebab bakteri tidak langsung secara luas tidak berhasil sebagai tes yang mampu membedakan antara kasus yang disebabkan oleh pneumococcus dan atau H. influenzae, yang biasa pada anak-anak di negara-negara berkembang, dan penyakit invasive.10 Jenis studi kedua adalah percobaan vaksin, dimana beban pneumonia dicegah dengan vaksin spesifik yang dianggap sebagai perkiraan terkecil dari beban pneumonia dikarenakan organisme yang dituju oleh vaksin.
Pada studi-studi prospektif berdasar mikrobiologi, bakteri penyebab utama adalah pneumococcus, yang teridentifikasi pada 30–50% kasus.19,8,18 Organisme yang paling sering terisolasi pada sebagian besar studi adalah H. influenzae tipe b (Hib; 10–30% dari kasus), diikuti oleh S. aureus dan K. pneumoniae. Selain itu, studi aspirat paru telah mengidentifikasi fraksi signifikan dari kasus-kasus pneumonia akut disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yang terkenal sulit untuk diidentifikasi pada anak.8 Sering terjadi kontroversi seputar peran dari 3 organisme penting, non-tipe H. influenzae (NTHI), S. aureus and non-typhoid Salmonella spp ini. NTHI ditemukan sebagai patogen penting pada studi aspirat paru di Papua New Guinea,18 sementara pada serangkaian studi aspirat paru dari Gambia, dan pada sebagian besar studi-studi berdasarkan kultur darah, Hib adalah tipe utama dari H. influenzae yang teridentifikasi Studi-studi di Pakistan menemukan NTHI sebagai kultur paling umum pada isolat darah tapi hal ini belum ditemukan dimanapun. Studi utama pertama yang menggunakan aspirasi paru pada lebih dari 500 anak di Chile, termasuk kontrol normal, menemukan S. aureus sebagai pathogen utama.11 Penemuan ini belum direplikasi pada studi yang lebih baru, meskipun demikian baru-baru ini studi WHO dari pneumonia sangat parah (hypoxaemic) di tujuh negara menemukan S. aureus pada 47 dari 112 kasus (42% dari kasus) dimana bakteri telah teridentfikasi, membuatnya menjadi penyebab terbesar kedua.2 Peran dari non-typhoid Salmonella spp.juga belum jelas. Studi-studi dari Afrika menunjukkan bakteraemia secara umum disebabkan oleh non-typhoid Salmonella spp. dan sering berasosiasi dengan malaria. Meskipun Graham et al. di Malawi telah mengimplikasikan non-typhoid Salmonella spp.11 Pada kasus-kasus radiologis pneumonia, peranan organisme ini pada pneumonia belum jelas, karena studi-studi kultur darah telah fokus pada anak-anak dengan demam dan nafas cepat sehingga mungkin telah mengidentifikasi anak-anak dengan bakteraemia.
Sementara itu pada studi-studi etiologi viral pneumonia menunjukkan bahwa respiratory syncytial virus (RSV) sebagai penyebab viral utama, yang teridentifikasi pada 15–40% kasus pneumonia atau bronchiolitis pada rumah sakit di negera-negara berkembang disusul oleh influenza A and B, parainfluenza, human metapneumovirus dan adenovirus.23 Studi terbaru juga telah memperkuat peranan virus respiratory syncytial sebagai patogen penyebab pneumonia yang sangat signifikan dan mematikan, secara tersendiri atau melalui infeksi gabungan dengan bakteri. Akan tetapi dikarenakan virus-virus ini bersifat fragile, dan sulit untuk diidentifikasi sehingga seringkali kurang dihiraukan. Kejadian viral pneumonia ini terutama mengalami puncak pada musim dingin di negara beriklim sedang dan pada musim hujan di negara beriklim tropis. Umumnya infeksi pernafasan oleh virus-virus tersebut meningkatkan resiko sekunder pneumonia bakterial dan infeksi viral atau bacterial lainnya. Hal ini seringkali ditemukan pada anak dengan pneumonia di negara-negara berkembang (kurang lebih 20–30% dari episode).11 Lebih jauh lagi, episode wheezing karena aliran udara reaktif sangat umum terjadi setelah episode-episode seperti itu, yang sebagian besar terjadi pada anak laki-laki dibandingkan perempuan pada tahun pertama kehidupan. Resiko pneumonia atau bronchiolitis yang disebabkan respiratory synctyal virus tertinggi pada anak dibawah usia 2 tahun dengan penyakit terparah terjadi pada bayi usia 3 minggu hingga 3 bulan.25 Hal ini menunjukkan bahwa usaha-usaha vaksinisasi dibutuhkan pada awal-awal kehidupan.
Pada tahun-tahun terakhir, epidemik HIV juga telah berkontribusi secara substansial pada peningkatan kejadian dan mortalitas pneumonia anak. Pada anak dengan HIV, infeksi bacterial masih tetap berperan sebagai penyebab utama kematian pada pneumonia, tetapi patogen tambahan seperti Pneumocystis jiroveci juga ditemukan pada anak terinfeksi HIV. Sementara M. tuberculosis tetap menjadi penyebab penting dari pneumonia pada anak dengan HIV dan yang tidak terinfeksi.11 Vaksin yang tersedia memiki kemanjran yang rendah pada anak dengan HIV, tapi masih dapat memberikan perlindungan dengan proporsi signifikan terhadap penyakit. Program-program Antiretroviral dapat mengurangi kejadian dan tingkat keparahan pneumonia yang berasosiasi dengan HIV pda anak melalui pencegahan terhadap infeksi HIV, dengan menggunakan co-trimoxazole prophylaxis dan perawatan dengan antiretrovirals.27
Organisme-organisme lainnya, seperti Mycoplasma pneumoniae, Chlamydia spp., Pseudomonas spp., Escherichia coli, dan campak, varicella, influenza, histoplasmosis dan toxoplasmosis, juga menjadi penyebab pneumonia. Sebagian besarnya belum dapat diatasi, tetapi imunisasi terhadap campak, influenza dan kemungkinan penggunaan bacille Calmette–Guerin (BCG) mungkin saja telah berkontribusi secara substansial pada penurunan beban pneumonia. Sedikit data yang tersedia mengenai penyabab neonatal pneumonia di negara-negara berkembang, tetapi studi-studi mengenai sepsis pada neonatal menunjukkan bahwa hal ini termasuk organisme-organisme Gram-negative enteric, khususnya Klebsiella spp, dan organisme-organisme Gram-positive, umumnya pneumococcus, Streptococcus Grup B dan S. aureus.20

Faktor Resiko
Beberapa keadaan seperti gangguan nutrisi (malnutrisi), usia muda, kelengkapan imunisasi, kepadatan hunian, defisiensi vitamin A, defisiensi Zn, paparan asap rokok secara pasif dan faktor lingkungan (polusi udara) merupakan faktor resiko untuk terjadinya pneumonia.3,12 Faktor predeposisi yang lain untuk terjadinya pneumonia adalah adanya kelainan anatomi kongenital (contoh fistula trakeaesofagus, penyakit jantung bawaan), gangguan fungsi imun (gangguan sistem imun terkait penyakit tertentu seperti HIV), campak, pertussis, gangguan neuromaskular kontaminasi perinatal dan gangguan klirens mucus atau sekresi seperti pada fibrosis kistik, aspirasi benda asing atau disfungsi silier (kapita).

Patogenesis dan Patofisiologi
Sebagian besar pneumonia timbul melalui aspirasi kuman atau penyebaran langsung kuman dari saluran repiratorik atas. Hanya sebagian kecil merupakan akibat sekunder dari viremia atau bakteremia atau penyebaran dari infeksi intra abdomen. Dalam keadaan normal saluran respiratori bawah mulai dari sublaring hingga unit terminal adalah steril. Paru terlindung dari infeksi melalui beberapa mekanisme termasuk pertahanan anatomi dan mekanis, juga sistem pertahanan tubuh lokal maupun sistemik. Pertahanan anatomi dan mekanik diantaranya adalah filtrasi partikel di hidung, pencegahan aspirasi dengan reflek epiglotis, pengeluaran benda asing melalui reflek batuk, pembersihan kea rah kranial oleh lapisan mukosilier. Sistem pertahanan tubuh yang terlibat baik sekresi local immunoglobulin A maupun respon inflamasi oleh sel-sel leukosit, komplemen, sitokin, immunoglobulin, alveolar makrofag dan sel perantara imunitas.7
Pneumonia terjadi bila satu atau lebih mekanisme diatas mengalami gangguan sehingga kuman pathogen dapat mencapai saluran nafas bawah. Inokulasi patogen penyebab pada saluran nafas menimbulkan respon inflamasi akut pada penjamu yang berbeda sesuai dengan pathogen penyebabnya.
Virus akan menginvasi saluran nafas kecil dan alveoli, umumnya bersifat tidak sempurna dan mengenai banyak lobus. Pada infeksi virus ditandai lesi awal berupa kerusakan silia epitel dengan akumulasi debris ke dalam lumen. Respon inflamasi awal adalah infiltrasi sel-sel berinti tunggal ke dalam submukosa dan perivascular. Sejumlah kecil sel-sel akan didapatkan dalam saluran nafas kecil. Bila proses ini meluas, dengan adanya sejumlah debris dan mucus serta sel-sel inflkamsi yang meningkat dalam saluran nafas kecil maka akan menyebabkan obstruksi baik sebagian maupun menyeluruh. Respon inflamasi ini akan diperberat dengan adanya edema submukosa yang mungkin bias meluas ke dinding alveoli. Respon inflamasi di dalam alveoli ini juga seperti yang terjadi pada ruang interstitial yang terdiri dari sel-sel berinti tunggal. Proses infeksi yang berat akan mengakibatkan terjadinya pengelupasan epitel dan akan terbentuk eksudat hemoragik. Infiltrasi ke interstitial sangat jarang menimbulkan fibrosis. Pneumonia viral pada anak merupakan predisposisi terjadinya pneumonia bakterial oleh karena rusaknya penghalang mukosa.3
Pneumonia bakterial terjadi dikarenakan masuknya patogen pada saat menghirup nafas. Terjadi tidaknya proses pneumonia tergantung dari interaksi antara bakteri dan ketahan sistem imunitas penjamu. Ketika bakteri dapat mencapai alveoli maka beberapa mekanisme pertahanan tubuh akan dikerahkan. Saat terjadi kontak antara bakteri dengan dinding alveoli maka akan ditangkap oleh lapisan cairan epithelial yang mengandung opsonin dan tergantung pada respon imunologis penjamu akan terbentuk antibody immunoglobulin G spesifik. Dari proses ini akan terjadi fagositosis oleh makrofag alveolar, sebagian kecil kuman akan dilisis melalui perantaraan komplemen. Mekanisme seperti ini terutama penting pada infeksi oleh karena bakteri yang tidak berkapsul seperti Streptococcus pneumonia. Ketika mekanisme ini tidak dapat membunuh bakteri pada alveoli, leukosit dengan aktifitas fagositosisnya akan direkrut dengan perantaraan sitokin sehingga akan terjadi respon inflamasi. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya kongesti vascular dan edema yang luas, dan hal ini merupakan karakteristik pneumonia oleh karena pneumokokus. Kuman akan dilapisi oleh cairan edematus yang berasal dari alveolus ke alveolus melalui pori-pori Kohn. Area edematous ini akan membesar secara sentrifugal dan akan membentuk area sentral yang terdiri dari eritrosit, eksudat purulent (fibrin, sel-sel leukosit ) dan bakteri. Fase ini secara hispatologi dinamakan red hepatization (hepatisasi merah).3
Pneumonia merupakan suatu keadaan klinis, dimana paru-paru mengalami inflamasi dan gangguan pertukaran oksigen yang menyebabkan beberapa gejala seperti batuk-batuk dan kesulitan pernafasan, yang biasanya diakibatkan oleh infeksi.11,12 Tahap selanjutnya adalah hepatisasi kelabu yang ditandai dengan fagositosis aktif oleh leukosit . Pelepasan komponen dinding bakteri dan pneumolisin melaluibdegradasi enzimatik akan meningkatkan respon inflamsi dan efek sitotoksik terhadap semua sel-sel paru. Proses ini akan mengakibatkan kaburnya struktur seluler paru.
Resolusi konsolidasi pneumonia terjadi ketika antibodi antikapsular timbul dan leukosit meneruskan aktifitas fagositosisnya; sel-sel monosit akan membersihkan debris. Sepanjang struktur reticular paru masih intak (tidak terjadi keterlibatan interstitial), parenkim paru akan kembali sempurna san perbaikan epitel alveolar terjadi setelah terapi berhasil. Pembentukan jaringan parut pada paru minimal.7,14
Pada infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus, kerusakan jaringan disebabkan oleh berbagai enzim dan toksin yang dihasilkan oleh kuman. Perlekatan Staphylococcus aureus pada sel mukosa melalui teichoic acid yang terdapat di dinding sel dan paparan di submukosa akan meningkatkan adhesi dari fibrinogen, fibronektin, kolagen dan protein yang lain. Strain yang berbeda dari Staphylococcus aureus akan menghasilkan faktor-faktor virulensi yang berbeda pula, dimana faktor virulensi tersebut mempunyai satu atau lebih kemampuan dalam melindungi kuman dari pertahan tubuh penjamu, melokalisir infeksi, menyebabkan kerusakan jaringan yang lokal dan bertindak sebagai toksin yang mempengaruhi jaringan yang tidak terinfeksi. Beberapa strain Staphylococcus aureus menghasilkan kapsul polisakarida atau slime layer yang akan berinteraksi dengan opsonofagositosis. Penyakit yang serius sering disebabkan Staphylococcus aureus yang memproduksi koagulase. Produksi koagulase atau clumping factor akan menyebabkan plasma menggumpal melalui interaksi dengan fibrinogen dimana hal ini berperan penting dalam melokalisasi infeksi (contoh: pembentukan abses, pneumatosel). Beberapa strain Staphylococcus aureus akan membentuk beberapa enzim seperti katalase (menon-aktifkan hidrogen peroksida, meningkatkan ketahanan intraseluler kuman) penicilinase atau β lactamase (menonaktifkan penisilin pada tingkat molekular dengan membuka cincin beta laktam molekul penisilin) dan lipase.3
Pada pneumonia terjadi gangguan pada komponen volume dari ventilasi akibat kelainan langsung di parenkim paru. Terhadap gangguan ventilasi akibat gangguan volume ini tubuh akan berusaha mengkompensasinya dengan cara meningkatkan volume tidal dan frekuensi nafas sehingga secara klinis terlihat takipnea dan dyspnea dengan tanda-tanda usaha inspiratori. Akibat penurunan ventilasi maka rasio optimal antara ventilasi perfusi tidak tercapai (V/Q < 50 =" 60" 40 =" 50" 30 =" 40">5 tahun 15-25 = 20

Perkusi toraks tidak bernilai diagnostik, karena umumnya kelainana patologinya menyebar. Suara redup pada perkusi biasanya karena adanya efusi pleura. Pada auskultasi nafas yang melemah seringkali ditemukan bila ada proses peradangan subpleura dan mengeras (suara bronkial) bila ada proses konsolodasi. Ronki basah halus yang khas untuk penderita yang lebih besar, mungkin tidak akan terdenganr untuk bayi. Pada bayi dan balita kecil karena kecilnya volume toraks biasanya suara nafas saling berbaur dan sulit diidentifikasi.7
Secara klinis pada anak sulit membedakan antara membedakan antara pneumonia bakterial dan pneumonia viral. Namun sebagai pedoman dapat disebutkan bahwa pneumonia bakterial awitannya cepat, batuk produktif, penderita tampak toksik, lekositosis dan perubahan nyata pada pemeriksaan radiologis. Namun keadaan seperti ini kadang-kadang sulit dijumpai pada seluruh kasus.21 Penggunaan BPS (Bacterial Pneumonia Score) pada 136 anak usia 1 bulan- 5 tahun dengan pneumonia di Argentina yang mengevaluasi suhu aksilar, usia, jumlah netrofil absolut, jumlah bands dan foto polos dada ternyata mampu secara akurat mengidentifikasi anak dengan resiko pneumonia bakterial sehingga akan dapat membantu klinisi dalam penentuan pemberian antibiotika.
Perinatal pneumonia terjadi segera setelah kolonisasi kuman dari jalan lahir atau ascending dari infeksi intrauterin. Kuman penyebab terutama adalah GBS (Group B Streptococcus) selain kuman-kuman gram negatif. Gejalanya berupa respiratory distress yaitu merintih, nafas cuping hidung, retraksi dan sianosis. Sepsis akan terjadi dalam hitungan jam, hampir semua bayi akan mengarah ke sepsis dalam 48 jam pertama kehidupan. Pada bayi prematur, gambaran infeksi oleh karena GBS menyerupai gambaran RDS (Respiratory Distress Syndrome).
Sementara itu di Indonesia program P2ISPA (Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut) mengupayakan agar istilah Pneumonia lebih dikenal masyarakat, sehingga memudahkan kegiatan penyuluhan dan penyebaran informasi tentang penanggulangan Pneumonia. Program P2ISPA mengklasifikasikan penderita kedalam 2 kelompok usia:
- Usia dibawah 2 bulan (Pneumonia Berat dan Bukan Pneumonia)
- Usia 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun (2 bulan - Pneumonia, Pneumonia Berat dan Bukan Pneumonia).
Klasifikasi Bukan-pneumonia mencakup kelompok balita penderita batuk yang tidak menunjukkan gejala peningkatan frekuensi nafas dan tidak menunjukkan adanya penarikan dinding dada bagian bawah ke dalam. Penyakit ISPA diluar pneumonia ini antara lain: batuk-pilek biasa (common cold), pharyngitis, tonsilitis dan otitis. Pharyngitis, tonsilitis dan otitis, tidak termasuk penyakit yang tercakup dalam program ini.
Diet Pada Pneumonia
Petunjuk untuk perawatan adalah untuk memberikan diet yang ringan, yang tidak akan merangsang batuk saat menelan, atau meningkatkan dyspinea dengan membuat perut kembung, atau memperbesar aktifitas jantung karena memerlukan tenaga pencernaan yang besar. Sebisa mungkin dihindari agar tidak dimuntahkan, dan jika terjadi mual, harus segera ditangani agar dapat dikendalikan. Tidak perlu untuk menjaga diet susu yang ketat, tetapi jika susu dapat diterima, disarankan untuk tidak memberikan yang lain selama gejala-gejala akut berlangsung; kecuali, air dadih, jus, broth, dan putih telur dapat diperbolehkan. Makanan berpati dan bersakarin (pemanis buatan) tidak boleh diberikan. Minuman dingin dapat diterima dan menguntungkan bagi pasien, dan air tawar atau yang telah teraerasi, seperti Apollinaris or air soda, dapat diminum dengan jumlah yang dapat dipertimbangkan. Hal ini dipercaya oleh beberapa ahli dapat mendukung aktifitas ginjal, dan mengurangi racun yang menyebabkan gejala-gejala pokok penyakit. Bagaimanapun, terdapat beberapa kasus diantara orang dengan sirkulasi yang kuat dan sehat, dimana serangan terjadi dengan sangat tiba-tiba dan hebat. Nadi penuh dan kuat, jantung sangat terbebani dengan usaha untuk mengeluarkan sejumlah besar darah yang belum teraerasi secara sempurna. Pada kasus-kasus sejenis, penambahan cairan dengan jumlah yang besar pada sirkulasi, melebihi asupan gizi yang dibutuhkan, dapat memiliki efek lebih lanjut mempertegang jantung.
Selain itu disebabkan bahwa air berkarbonasi mengurangi kekentalan dahak, yang seringkali sangat kental.
Diet sebaiknya dijaga tetap cair hingga defervescence telah terjadi, dengan suhu normal dan dimulai dengan hilangnya the exudation - in fact, lebih baik untuk memperpanjang pemberian dietiga atau empat hari setelah suhu tubuh kembali normal, untuk memastikan demam tidak kembali lagi. Pada kasus-kasus dimana resolusi tertunda, dan pasien menjadi semakin lemah, meskipun suhu tubuh mungkin mendekati normal, mungkin diinginkan memberi sedikit makanan padat lebih cepat, dan daging yang dimemarkan, roti panggang, atau telur yang dimasak setengah matang dapat ditambahkan pada diet susu.
Selama keseluruhan periode pemberian diet harus sangat bergizi dan mudah dicerna; susu masih mungkin diberikan, dan setelah secara perlahan kembali menjadi pengaturan makan 3 kali sehari27.

Diet Pada Broncho-Pneumonia
Broncho-pneumonia selalu penyakit yang kritis, dan perawatan sepenuhnya diperlukan pada perawatan dan pemberian makanan. Diet seharusnya terdiri dari beberapa jenis seperti daging giling, susu yang telah dicernakan sebelumnya, dan putih telur. Stimulasi dibutuhkan pada awal perawatan dan pada jumlah yang sangat diperlukan. Air dingin, sebaiknya diberikan secara sistematis, terutama kepada anak pada usia muda, yang belum mampu menyatakan keionginannya untuk minum. Susu panas dan Vichy, dengan perbandingan satu bagian Vichy untuk dua bagian susu untuk anak yang lebih tua, atau setengah-setengah untuk bayi, yang dapat memberikan efek melunakan lender dan mempermudah batuk. Jika terdapat kecenderungan flatulensi, air teraerasi lebih baik dihindari. Saat penyakit terjadi pada anak-anak, dietnya harus disesuaikan agar mengurangi beban organ dalam mencernanya. Pertama-pertama, makanan sebaiknya diberikan setiap dua jam, dan susu biasanya dibutuhkan. Selanjutnya dapat diselingi dengan penambahan putih telur, daging giling, ararut, atau egg albumin, expressed meat juice, plain beef or mutton broths, arrowroot, or other gruels.

Pencegahan
Pemberian imunisasi memberikan arti yang sangat penting dalam pencegahan pneumonia. Pneumonia diketahui dapat sebagai komplikasi dari campak, pertusis dan varisela sehingga imunisasi dengan vaksin yan berhubungan dengan penyakit tersebut akan membantu menurunkan insiden pneumonia. Pneumona yang disebabkan oleh Haemophillus influenza dapat dicegah dengan pemberian imunisasi Hib.
Pada Februari 2000, vaksin pneumokokal heptavalen telah dilesensikan penggunaannya di Amerika Serikat. Vaksin ini memberikan perlindungan terhadap penyakit yang umum disebabkan oleh tujuh serotype Streptococcus pneumonia. Penggunaan vaksin menurunkan insiden invasive pneumococcal disease.11 Penggunaan vaksin pneumokokal heptavalen secara rutin di Amerika Serikat ternyata mampu menurunkan bakteremia yang disebabkan Streptococcus pneumoniae sebesar 84% dan sebesar 67% untuk bakteremia secara keseluruhan pada populas anak 3 bulan- 3 tahun.
The American Aademic of Pediatric (AAP) merekomendasikan vaksinasi influenza untuk semua anak dengan resiko tinggi yang berumur 6 bulan dan pada usia tua. Untuk memberikan perlindungan terhadap komplikasi influenzae termasuk diantaranya adalah pneumonia, AAP juga merekomendasikan untuk semua anak usia 6 bulan sampai 23 bulan jika kondisi ekonomi memungkinkan.3
Selain itu berdasarkan penelitian terhadap bakteri utama penyebab pneumonia di negara-negara berkembang telah disimpulkan dua penyebab utama pneumonia bakterial yang dapat dicegah oleh vaksin adalah Hib dan pneumococcus.18,28 Pada dua penyebab tersebut, vaksin akan mencegah sebagian besar pneumonia yang disebabkan oleh dua bakteri tersebut.
Pencegahan lain dapat dilakukan dengan menghindari faktor paparan asap rokok dan polusi udara, membatasi penularan terutama dirumah sakit misalnya dengan membiasakn mencuci tangan dan penggunaan sarung tangan dan masker, isolasi penderita, menghindarkan bayi atau anak kecil dari tempat keramaian umum, pemberian ASI, menghindarkan bayi atau anak kecil dari kontak dengan penderita ISPA.3
Selain itu usaha penanganan berbagai faktor resiko yang berhubungan dengan masalah zat gizi adalah masalah yang juga sangat penting untuk diperhatikan. Penanganan kejadian malnutrisi seperti kekurangan energi protein, kekurangan mikronutrien akan dapat menurunkan tingkat keparahan penyakit ataupun memperkecil kemungkinan infeksi. Selain itu pemenuhan kebutuhan zat gizi juga terbukti dapat meningkatkan ketahanan imunitas sehingga kejadian paparan patogen yang dapat berakibat fatal dapat diperkecil.

Sesi Konsultasi
1. Anak saya sudah beberapa bulan ini sering mengalami sesak nafas, saya khawatir dia terkena pneumonia, bagaimana pendapat Ibu?
Saat ini usia anak Ibu berapa tahun usianya?
Sebentar lagi usianya 3 tahun
Sebelumnya, bisa Ibu jelaskan bagaimana kondisi kesehatan anak ibu saat ini?
Iya bu, anak saya itu sebenarnya kalau kelihatannya sih baik-baik saja, pertumbuhannya juga bagus, tidak kurang gizi, waktu pas lahir juga berat badannya normal, hanya saja satu bulan belakangan ini kadang-kadang malam harinya dia suka sesak nafas.
Selain sesak nafas apakah anak ibu juga mengalami demam, jantungnya berdetak cepat, dahak hijau yang keras?
Tidak ko bu, dia hanya sesak nafas saja.
Apakah di lingkungan tempat tinggal ibu atau ada diantara keluarga ibu yang terkena pneumonia ?
Setahu saya tidak ada bu.
Kalau begitu apakah Ibu sudah pernah memeriksakan anak ibu ke dokter?
Belum pernah.
Apakah imunisasi anak Ibu sudah lengkap?
Sudah ko sudah lengkap, bahkan sudah sempat di vaksin pneumonia juga.
Kalo begitu, sebaiknya dalam waktu dekat ini coba ibu periksakan ke dokter untuk mengetahui penyakit yang sebenarnya, sebaiknya juga dilakukan rotgen dan pemerikasaan laboratorium seperti dahak supaya penyebab penyakitnya lebih jelas. Tapi menurut pendapat saya. dilihat dari keadaannya, anak ibu tidak mengalami pneumonia.
2. Sebenarnya apa sih penyebab pneumonia?
Penyebabnya beragam, ada yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, atau beberapa penyebab lain yang belum diketahui dengan jelas.
3. Kalau begitu bagaimana supaya tidak kena pneumonia?
Pertama-tama saat anak lahir usahakan untuk menyempurnakan seluruh imunisasinya dan juga karena sekarang sudah tersedia vaksin pneumokokal heptavalent untuk pneumonia. Berikan ASI eksklusif selama 4 bulan pertama, penuhi kebutuhan gizi dengan makanan yang beragam dan seimbang, Jaga kebersihan lingkungan terutama lingkungan bermain anak, hindari polusi udara dan asap rokok, dam hindiri kontak dengan penderita.


PENUTUP

Kesimpulan
Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli). Terjadinya pneumonia pada anak seringkali bersamaan dengan proses infeksi akut pada bronkus (biasa disebut bronchopneumonia). Gejala penyakit ini berupa demam, berkeringat, denyut jantung meningkat cepat, napas cepat dan napas sesak, karena paru meradang secara mendadak. Batas napas cepat adalah frekuensi pernapasan sebanyak 50 kali per menit atau lebih pada anak usia 2 bulan sampai kurang dari 1 tahun, dan 40 kali permenit atau lebih pada anak usia 1 tahun sampai kurang dari 5 tahun. Pada anak dibawah usia 2 bulan, tidak dikenal diagnosis pneumonia.
Pneumonia Berat ditandai dengan adanya batuk atau (juga disertai) kesukaran bernapas, napas sesak atau penarikan dinding dada sebelah bawah ke dalam (severe chest indrawing) pada anak usia 2 bulan sampai kurang dari 5 tahun. Pada kelompok usia ini dikenal juga Pneumonia sangat berat, dengan gejala batuk, kesukaran bernapas disertai gejala sianosis sentral dan tidak dapat minum Bibir dan kuku mungkin membiru karena tubuh kekurangan oksigen. Pada kasus yang eksterm, pasien akan mengigil, gigi bergemelutuk, sakit dada, dan kalau batuk mengeluarkan lendir berwarna hijau. Sementara untuk anak dibawah 2 bulan, pneumonia berat ditandai dengan frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali permenit atau lebih atau (juga disertai) penarikan kuat pada dinding dada sebelah bawah ke dalam.
Pneumonia merupakan masalah kesehatan di dunia karena angka kematiannya tinggi, tidak saja di negara berkembang, tapi juga di negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada dan negara-negara Eropa. Amerika Serikat misalnya, terdapat dua juta sampai tiga juta kasus pneumonia per tahun dengan jumlah kematian rata-rata 45.000 orang.
Di Indonesia, pneumonia merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah kardiovaskuler dan tuberkulosis. Faktor sosial ekonomi yang rendah mempertinggi angka kematian. Gejala Pneumonia adalah demam, sesak napas, napas dan nadi cepat, dahak berwarna kehijauan atau seperti karet, serta gambaran hasil ronsen memperlihatkan kepadatan pada bagian paru. Kepadatan terjadi karena paru dipenuhi sel radang dan cairan yang sebenarnya merupakan reaksi tubuh untuk mematikan luman. Tapi akibatnya fungsi paru terganggu, penderita mengalami kesulitan bernapas, karena tak tersisa ruang untuk oksigen. Pneumonia yang ada di masyarakat umumnya, disebabkan oleh bakteri, virus atau mikoplasma ( bentuk peralihan antara bakteri dan virus ). Bakteri yang umum adalah Streptococcus Pneumoniae, Staphylococcus Aureus, Klebsiella Sp, Pseudomonas sp,vIrus misalnya virus influensa.
Akan tetapi saat ini persepsi global mengenai pneumonia sebagai masalah kesehatan umum dilemahkan dengan pencitraannya yang familiar dan mudah diatasi di dunia yang terindustrialisasi. Hal ini dapat diterima mengingat berbagai studi telah menunjukkan, meskipun pneumonia sebagai penyakit infeksi virus, bakteri,ataupun keduanya, pada kenyataannya, memang sebagian besar faktor resiko pneumonia adalah masalah yang umumnya dapat dihindari yang dapat diatasi. Selain itu masalah lain dari segi manajemen perawatan penderita pneumonia adalah kesenjangan akses fasilitas kesehatan dengan metode penanganan yang masih belum efektif secara pembiayaan.

Saran
Beberapa faktor resiko pneumonia seperti gangguan nutrisi (malnutrisi), kelengkapan imunisasi, kepadatan hunian, defisiensi vitamin A, defisiensi Zn, paparan asap rokok secara pasif dan faktor lingkungan (polusi udara) merupakan masalah yang umumnya dapat dicegah dan diatasi. Sehingga upaya pemberian pemahaman kepada masyrakat merupakan salah satu upaya yang perlu digalakkan. Suatu langkah yang bisa diambil sebagai upaya pencegahan dan penanganan penyakit ini adalah dengan merubah perilaku hidup masyarakat terutama dalam memilih makanan sehari-hari dan menghindari berbagai paparan seperti polusi dan asap rokok. Untuk dapat melakukan perubahan ini bisa dilakukan dengan pendidikan kesehatan berupa penyuluhan dan konsultasi gizi baik di rumah sakit maupun di masyarakat.






DAFTAR PUSTAKA
1. Adegbola. RA, Falade AG, Sam BE, Aidoo M, Baldeh I, Hazlett D, et al. The etiology of pneumonia in malnourished and well-nourished Gambian children. Pediatr Infect Dis J 1994;13:975-82. PMID:7845751.
2. Asghar R, Banajeh S, Egas J, Hibberd P, Iqbal I, Katep-Bwalya M, et al. Multicentre randomized controlled trial of chloramphenicol vs. ampicillin and gentamicin for the treatment of very severe pneumonia among children aged 2 to 59 months in low resource settings: a multicenter randomized trial (spear study). BMJ 2008;336:80-4. PMID:18182412 doi:10.1136/bmj.39421.435949.
3. Asih S. Retno, S. Landia, & MS. Makmuri 2006. Ilmu Kesehatan Anak XXXVI. Surabaya: UNAIR Press.
4. Baqui, A.H., et al. 2002. Effect of zinc supplementation started during diarrhoea on morbidity and mortality in Bangladeshi children: community randomized trial. BMJ. 325:1059.
5. Black, R.E. 2003. Zinc deficiency, infectious disease and mortality in the developing world. J. Nutr. 133:1485S–1489S.
6. Bobat, R., et al. 2005. Safety and efficacy of zinc supplementation for children with HIV-1 infection in South Africa: a randomised double-blind placebo-controlled trial. Lancet. 366:1862–1867.
7. Correa AG, Starke JR. 1998. Bacterial Pneumonias. Dalam: Chernick V, Boat F, penyunting. Kending`s Disorders of The Respiratory Tract in Children Philadhelphia: WB Saunders, 6: 485-503.
8. Falade AG, Mulholland EK, Adegbola RA, Greenwood BM. Bacterial isolates from blood and lung aspirate cultures in Gambian children with lobar pneumonia. Ann Trop Paediatr 1997;17:315-9. PMID:9578790.
9. Gittens MM. 2002. Pediatric Pneumonia. Clin Ped Emerg Med J (3):200-1414
10. Goldblatt. D, Miller E, McCloskey N, Cartwright K. Immunological response to conjugate vaccines in infants: follow up study. BMJ 1998;316:1570-1. PMID:9596595.
11. Igor Rudan,a Cynthia Boschi-Pinto,b Zrinka Biloglav,c Kim Mulhollandd & Harry Campbelle 2008. Epidemiology and etiology of childhood pneumonia. Bull. World health Organ. 86: 400-416.
12. J. Anthony G. Scott, W. Abdullah Brooks, J.S. Malik Peiris, Douglas Holtzman, & E. Kim Mulholland 2008. Pneumonia research to reduce childhood mortality in the developing world. J of Clinical Investigation. 118: 1291-1298
13. Makonnen, B., Venter, A., and Joubert, G. 2003. A randomized controlled study of the impact of dietary zinc supplementation in the management of children with protein-energy malnutrition in Lesotho. I: Mortality and morbidity. J. Trop. Pediatr. 49:340–352.
14. Miller MA, Ben T., Daurn RS. Bacterial Pneumonia in Neonates and Older Children. Dalam: Taussing LM, Landau LI, penyunting. Pediatric Respiratory Medicine. Philadelphia: WB Saunders, 17: 1432.
15. Preston, S.R., & Haines, M.R. 1991. Fatal years – child mortality in late 19th century America. Princeton University Press. Princeton, New Jersey, USA. 4–5.
16. Rudan, I., Tomaskovic, L., Boschi-Pinto, C., & Campbell, H. 2004. Global estimate of the incidence of clinical pneumonia among children under five years of age. Bull. World Health Organ. 82:895–903.
17. Rudan, Tomaskovic L, Boschi-Pinto C, & Campbell H. Global estimate of the incidence of clinical pneumonia among children under five years of age. Bull World Health Organ 2004;82:895-903.
18. Shann F, Gratten M, Germer S, Linnemann V, Hazlett D, Payne R. Etiology of pneumonia in children in Goroka Hospital, Papua New Guinea. Lancet 1984;2:537-41. PMID:6147602 doi:10.1016/S0140-6736(84)90764-5.
19. Shann. F. Etiology of severe pneumonia in children in developing countries. Pediatr Infect Dis J 1986;5:247-52.
20. The WHO Young Infants Study Group. Bacterial etiology of serious. infections in young infants in developing countries: results of a multicenter study. Pediatr Infect Dis J 1999;18 Suppl;S17-22. PMID:10530569 doi:10.1097/00006454-199910001-00004.
21. UNICEF. 2007. State of the World’s Children. New York: United Nations Children’s Fund.
22. WHO Programme for Control of Acute Respiratory Infections. 1990. Acute respiratory infections in children: case management in small hospitals in developing countries. A manual for doctors and other senior health workers. WHO. Geneva, Switzerland. 74 pp. 2.
23. Weber MW, Mulholland KE, Greenwood BM. Respiratory syncytial virus infection in tropical and developing countries. Trop Med Int Health 1998;3:268-80. PMID:9623927 doi:10.1046/j.1365-3156.1998.00213.x 38.
24. Weber, M.W., Palmer, A., Oparaugo, A., and Mulholland, E.K. 1995. Comparison of nasal prongs and nasopharyngeal catheter for the delivery of oxygen in children with hypoxemia because of a lower respiratory tract infection. J. Pediatr. 127:378–383.
25. Weisman LE. Populations at risk for developing respiratory syncytial virus and risk factors for respiratory syncytial virus severity: infants with predisposing conditions. Pediatr Infect Dis J 2003;22:S33-9. PMID:12671450 doi:10.1097/00006454-200302001-00005.
26. Williams, B.G., Gouws, E., Boschi-Pinto, C., Bryce, J., & Dye, C. 2002. Estimates of world-wide distribution of child deaths from acute respiratory infections. Lancet Infect. Dis. 2:25–32.
27. W. Gilman Thompson, M.D. Practical Dietetics. New York. D. Appleton & Co.
28. Zar HJ, Madhi SA. Childhood pneumonia – progress and challenges. S Afr Med J 2006;96:890-900. PMID:17077915.